BANDARLAMPUNG, iNewsPringsewu.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang memberikan vonis dibawah ketentuan Undang-Undang terhadap Aulia Rakhman terdakwa penista agama.
Komika asal Lampung itu terbukti bersalah melakukan penistaan agama. Peristiwa pidana itu terjadi saat Aulia membawakan materi stand up comedy dalam acara Desak Anies di Kafe Bento Kopi, Jalan Pulau Sebesi, Sukarame, Bandarlampung, Kamis (7/12/2023).
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris DPD Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Provinsi Lampung Rifandy Ritonga mengatakan, keputusan Majelis Hakim sering kali menimbulkan pertanyaan tentang apakah hakim telah bertindak adil atau justru menunjukkan bias tertentu.
"Untuk menilai keadilan tersebut, penting untuk melihat beberapa aspek penting dalam proses peradilan," ujar Rifandy kepada MNC Portal, Jumat (7/6/2024).
Pertama, kata Rifandy, sistem peradilan di Indonesia menganut prinsip independensi dan kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan. Hakim diberikan kewenangan untuk mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi suatu kasus, termasuk motif, konteks, dampak, serta sikap terdakwa selama proses persidangan.
"Penetapan hukuman yang lebih ringan mungkin mencerminkan pertimbangan hakim terhadap faktor-faktor ini," kata dia.
Rifandy melanjutkan, faktor kedua yakni hukum pidana Indonesia memungkinkan adanya diskresi dalam penjatuhan hukuman. Meskipun undang-undang menetapkan batasan minimum dan maksimum hukuman, hakim memiliki keleluasaan untuk menentukan besaran hukuman yang dianggap paling adil berdasarkan fakta dan bukti yang ada.
"Dalam perkara penistaan agama, konteks dan niat di balik perbuatan tersebut sangat penting dalam menentukan tingkat kesalahan dan hukuman yang pantas," ucap Dosen Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung tersebut.
Pengamat dan Akademisi ini menyebutkan, adil atau tidaknya hakim dalam memutus perkara penistaan agama dengan hukuman di bawah ketetapan Undang-Undang sangat bergantung pada pertimbangan hukum dan fakta yang ada di persidangan.
"Meskipun hakim memiliki diskresi, penting bagi mereka untuk menjelaskan pertimbangan mereka secara transparan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan memastikan bahwa keadilan benar-benar tercapai," pungkasnya.
Sementara Akademisi Hukum Universitas Lampung Dr. Yusdianto mengatakan, vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap Aulia Rakhman sudah setimpal terhadap perbuatannya.
Pasalnya, lanjut Yusdianto, pidana merupakan penghukuman terhadap perilaku yang dilakukan terdakwa. Untuk itu, pidana atau hukuman jangan dimaknai sebagai dendam ataupun pembalasan.
"Dalam persidangan diketahui terdakwa sudah mengakui bersalah dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Selain itu, putusan tersebut telah mencerminkan keadilan antar pihak," ungkapnya.
Yusdianto mengungkapkan, dengan vonis tersebut, diharapkan terdakwa tidak mengulangi perbuatannya, menebus kesalahan dengan menjalani hukuman dan lebih hati-hati dalam menjalankan profesinya.
"Kedepan jangan sembarangan berucap, hanya karena mencari sensasi, hiburan terlebih tepuk tangan. Sementara yang dilakukan melukai umat beragama dan jadi gaduh yang secara hukum dapat disebut sebagai penistaan agama," pungkasnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta